TEORI PERKEMBANGAN
PENDAHULUAN
Banyak pendapat tentang hakikat perkembangan manusia, di kalangan psikolog terdapat berbagai aliran yang melihat masalah perkembangan ini dengan cara yang berbeda-beda. Adanya perbedaan tersebut kemudian memunculkan berbagai teori tentang perkembangan manusia.
Secara umum, teori perkembangan itu sendiri dapat kita definisikan sebagai sejumlah ide yang koheren, mengandung hipotesis-hipotesis dan asumsi-asumsi yang dapat diuji kebenarannya, dan berfungsi untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi perubahan-perubahan perilaku dan proses mental manusia sepanjang rentang kehidupannya.
Dalam makalah ini kita tidak akan membahas semua teori perkembangan yang ada. Namun kita hanya akan membahas empat teori perkembangan yaitu teori perkembangan kognitif, teori perkembangan psikososial, teori perkembangan psikoseksual, dan teori perkembangan moral.
TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF
Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget (1896-1980), seorang psikolog asal Neuchatel, Swiss. Menurut Crain (2007) teori ini merupakan teori tentang perkembangan intelektual paling komprehensif dan banyak mendekati kebenaran. Teori perkembangan kognitif Piaget memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan.
Teori yang dikemukakan Piaget dikenal juga dengan teori perkembangan intelektual yang menyeluruh, dimana teori ini mencerminkan adanya fungsi biologi dan psikologis. Piaget menyatakan intelegensi itu sendiri sebagai adaptasi biologi terhadap lingkungan. Sebagai contohnya manusia tidak memiliki bulu untuk melindunginya dari dingin, demikian pula manusia tidak memiliki kecepatan untuk lari dari hewan pemangsa. Namun manusia memiliki kepandaian untuk membuat pakaian dan kendaraan untuk transportasi.
Dalam setiap riset, Piaget memberikan kontribusi yang jelas menuju sebuah teori pentahapan yang tunggal dan terintegrasikan. Sebelum menuju tahapan-tahapan yang dikemukakan Piaget, terdapat dua konsep penting yang harus diketahui. Pertama, Piaget menemukan bahwa anak-anak melewati tahapan-tahapan ini dengan kecepatan yang berbeda-beda sehingga dia tidak terlalu menaruh perhatian kepada batasan usia yang dilekatkan pada tahapan-tahapan tersebut. Meskipun tahapan-tahapan itu dapat dicapai dalam usia yang bervariasi namun Piaget mengutarakan bahwa anak-anak selalu melewati urutan yang tidak pernah berubah dengan keteraturan yang sama. Piaget juga menyatakan tahapan-tahapan tersebut bersifat universal, tidak terkait budaya.
Kedua, pandangan umum Piaget mengenai hakekat perubahan di dalam perkembangan tidak melihat tahapan-tahapannya ditentukan oleh genetis. Sebaliknya, mereka hanyalah mempresentasikan cara-cara berpikir yang semakin komperehensif. Anak-anak secara konstan mengeksplorasi, memanipulasi dan berusaha memahami lingkungannya. Di dalam proses ini mereka aktif mengkonstruksikan struktur-struktur baru yang lebih elaboratif agar bisa menghadapinya.
Piaget menggunakan konsep-konsep biologis terbatas pada sifatnya. Dia mengamati bayi-bayi mewarisi refleks-refleks seperti menghisap. Refleks-refleks sangat penting bagi bulan-bulan pertama kehidupannya, namun semakin berkurang secara signifikansinya pada perkembangan selanjutnya.
Piaget mengkarakterisasikan aktivitas-aktivitas anak-anak menurut kecenderungan-kecenderungan biologis yang bisa ditemukan di semua organisme. Kecenderungan-kecenderungan tersebut adalah asimilasi, akomodasi, dan organisasi.
Asimilisasi berarti memasukkan sesuatu seperti dalam aktivitas makan atau mencerna. Namun dalam pengertian disini asimilasi merupakan suatu proses penyesuaian antara objek yang baru diperoleh dengan skema yang ada. Dengan kata lain asimilasi dapat dijelaskan sebagai proses organisme memanipulasi dunia luar dengan cara membuatnya menjadi serupa dengan dirinya. Manusia memiliki kebutuhan untuk mengasimilasikan objek-objek atau informasi ke dalam struktur-struktur kognitifnya. Sebagai contoh, orang dewasa mengasimilasikan informasi dengan membaca buku. Lain halnya dengan bayi, mereka mengasimilasikan objek dengan menggenggamnya, berusaha memasukkan objek tersebut ke dalam skema genggamannya.
Dalam memasukkan objek tersebut ternyata terdapat beberapa objek yang tidak sesuai dengan struktur yang kita meiliki. Maka untuk tetap memasukan objek tersebut kita harus membuat perubahan di dalam struktur kita atau akomodasi. Dari penjelasan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa akomodasi yaitu proses organisme memodifikasi dirinya sehingga lebih menyukai lingkungannya. Akomodasi juga dapat disebut sebagai proses dimana struktur kognitif mengalami perubahan. Piaget menganggap perubahan ini sebagai proses pembelajaran. Sebagai contoh, bayi menemukan bahwa dia sanggup menggenggam sebuah kotak dengan menggerakkan perintang menuju kotak tersebut, melalui proses akomodasi bayi kemudian mulai mengkontruksikan cara-cara yang lebih efisien.
Sedangkan kecenderungan yang ketiga adalah organisasi. Organisasi disini dapat kita artikan sebagai kecenderungan untuk mengintegrasi diri dan dunia ke dalam suatu bentuk dari bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang penuh arti. Menurut Piaget, organisasi ini merupakan suatu cara untuk mengurangi kompleksitas. Sebagai contoh, anak-anak berusia empat bulan memiliki kemampuan menatap objek dan menggenggamnya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya dia berusaha mengkombinasikan dua tindakan ini dengan menggenggam objek-objek yang dilihatnya . pada tataran mental yang lebih tinggi, manusia membangun teori. Secara konstan manusia akan terus berusaha mengorganisasikan ide-ide menjadi suatu sistem yang koheren.
Menurut Ginsburg dan Opper dalam Crain (2007) meskipun Piaget tidak percaya bahwa tahapan-tahapan ini sudah diatur oleh kode genetik tertentu melainkan dikonstruksikan oleh anak-anak sendiri, namun Piaget masih mendiskusikan proses pengkonstruksian ini menurut kecenderungan-kecenderungan biologisnya.
Piaget berpendapat pikiran anak-anak tidak dibentuk oleh ajaran-ajaran orang dewasa atau pengaruh-pengaruh lingkungan lainnya. Anak-anak memang harus berinteraksi dengan lingkungannya untuk berkembang, akan tetapi merekalah yang membangun struktur-struktur kognitif baru dalam dirinya, bukan lingkungan eksternal.
Jadi menurut Piaget, perkembangan tidak diatur oleh pendewasaan internal maupun pengajaran dari luar. Namun merupakan proses kontruktif yang aktif, dimana anak-anak melalui aktivitas-aktivitas mereka sendiri, membangun struktur-struktur kognitif yang semakin berbeda dab komprehensif.
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung yang baru ini. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin berkembang seiring pertambahan usia:
1.Periode I, Kepandaian Sensori-Motorik (usia 0-2 tahun)
2.Periode II, Pikiran Pra-Operasional (usia 2-7 tahun)
3.Periode III, Operasi-operasi berpikir konkret (usia 7-11 tahun)
4.Periode IV, Operasi-operasi berpikir formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Periode I: Kepandaian Sensori-Motorik (usia 0-2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam tahapan:
Tahap 1 (0-1 bulan): Penggunaan Refleks-refeleks
Piaget menggunakan istilah skema (scheme atau schema) dalam pembahasan struktur tindakan bayi. Skema bisa menjadi pola tindakan apapun untuk menghadapi lingkungan, bentuk skema tersebut bisa berupa tindakan menatap, menggenggam, atau menendang-nendang. Skema pertama yang dilakukan bayi terdiri dari refleks-refleks bawaan. Refleks yang paling terlihat adalah menghisap, bayi otomatis menghisap kapan pun ketika bibir mereka disentuh.
Tahap 2 (1-4 bulan): Reaksi-reaksi Sirkuler Primer
Reaksi ini menurut Piaget terjadi ketika bayi menghadapi suatu pengalaman baru dan ingin menbgulanginya kembali. Sebagai contoh, ketika tangan bayi berdekatan dengan mulutnya dia akan mulai menghisapnya, dan ketika tangan itu menjauh si bayi ingin membawa tangan itu kembali.
Tahap 3 (4-10 bulan): Reaksi-reaksi Sirkuler Sekunder
Reaksi ini terjadi ketika bayi menemukan dan menghasilkan kembali peristiwa menarik di luar dirinya. Sebagai contoh, Piaget menceritakan, putri keduanya. Suatu saat Lucienne berbaring di tempat tidur, dia membuat gerakan dengan kakinya yang berusaha mengendalikan boneka-boneka yang digantung di atas kepalanya. Dia merasa tertarik, kemudian mengulangi tindakannya. Selama beberapa kali dia mengulangi hal tersebut, dan sering tertawa ketika melihat boneka-boneka tersebut bergerak. Pada tahap ketiga ini bayi menunjukkan satu tindakan tunggal untuk mencapai suatu hasil.
Tahap 4 (10-12 bulan): Koordinasi Skema-skema Sekunder
Pada tahap ini Piaget berpendapat, tindakan bayi lebih terbedakan dari tahap sebelumnya. Dia belajar untuk mengkoordinasi dua skema terpisah demi mencapai suatu hasil. Sebagai contoh, kali ini Piaget menceritakan Laurent, putra bungsunya. Pada suatu ketika Laurent ingin memeluk sebuah kotak mainan, namun Piaget menaruh tangannya di tengah jalan. Semula Laurent berusaha untuk tidak menghiraukannya dengan menerobos atau mengambil jalan memutar, tidak berusaha untuk menggeser tangan ayahnya. Namun ketika Piaget tetap menaruh tangannya di tengah jalan, kemudian Laurent memukulkan kotak mainan itu sambil berusaha melambaikan tangan , mengguncang tubuhnya sendiri dan mengibas-kibaskan kepalanya. Setelah melakukannya beberapa kali, akhirnya Laurent berhasil menyingkirkan perintang dengan mengibaskan tangan ayahnya. Dari contoh tersebut dapat kita simpulkan bahwa Laurent berhasil mengkoordinasikan dua skema terpisah untuk mencapai tujuan, yaitu menyingkirkan perintang dan memeluk kotak mainan itu.
Tahap 5 (12-18 bulan): Reaksi-reaksi Sirkuler Tersier
Pada tahap ini bayi bereksperimen dengan tindakan-tindakan yang berbeda-beda untuk mengamati hasil yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Piaget kembali menceritakan Laurent, putra bungsunya. Suatu ketika Laurent tertarik dengan meja yang baru dibeli ayahnya. Dia memukulmnya dengan telapak tangan beberapa kali, terkadang keras, terkadang juga lembut untuk memperoleh perbedaan bunyi yang dihasilkan.
Tahap 6 (18 bulan-2 tahun): Reaksi-reaksi Sirkuler Tersier
Pada tahap ini anak-anak mulai memikirkan situasi secara lebih internal, sebelum akhirnya bertindak. Sebagai contoh, Piaget menceritakan Lucienne, putri keduanya. Pada suatu ketika Piaget menaruh rantai di dalam kotak mainan yang membuat Lucienne ingin mengambilnya. Dia memiliki dua skema untuk mengambilnya, yaitu membalikkan kotak itu dan memasukkan jarinya ke celah yang menganga. Akan tetapi ternyata tidak ada satu pun usahanya yang berhasil. Lucienne menghentikan tindakannya dan menatap celah kotak tersebut dengan seksama. Kemudian setelah beberapa kali membuka dan menutup mulut kotak yang semakin lebar, Lucienne membuka kotak itu sekuat tenaga dan berhasil mendapatkan rantainya.
Periode II: Pikiran Pra-Operasional (usia 2-7 tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
Periode III: Operasi-operasi berpikir konkret (usia 7-11 tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan
Kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi
Kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan).
Decentering
Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility
Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Penghilangan sifat Egosentrisme
Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Periode IV: Operasi-operasi berpikir formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
TEORI PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
Erik H Erikson, seorang psikolog asal Frankfurt, Jerman, mengembangkan teori perkembangan kepribadian yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Erikson telah memberi gambaran baru yang lebih besar mengenai tugas anak dalam teori perkembangan psikoanalitik di setiap tahapan Freud. Dia juga menambahkan tiga tahapan baru tentang fase-fase dewasa sehingga teori psikoanalisis dapat mencakup seluruh siklus hidup manusia.
Berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang dibangun oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Dalam teori yang diutarakannya, Erikson menekankan hubungan sosial dengan individu di persekitaran. Perkembangan psikososial ini membentuk personaliti kanak-kanak.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri.
Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap
Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar Di mana gambar tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut:
Developmental Stage Basic Components
Infancy (0-1 thn) Trust vs Mistrust: Harapan
Early childhood (1-3 thn) Autonomy vs Shame, Doubt: Kehendak
Preschool age (4-5 thn) Initiative vs Guilt: Tujuan
School age (6-11 thn) Industry vs Inferiority: Kompetensi
Adolescence (12-20 thn) Identity vs Identity Confusion: Kesetiaan
Young adulthood ( 21-40 thn) Intimacy vs Isolation: Cinta
Adulthood (41-65 thn) Generativity vs Stagnation: Perhatian
Senescence (+65 thn) Ego Integrity vs Despair: Hikmat
Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
Autonomy vs Shame, Doubt (Otonomi vs Rasa Malu, Ragu-ragu)
Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
Initiative vs Guilt (Inisiatif vs Rasa Bersalah)
Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
Industry vs Inferiority (Kegigihan/Industri vs Inferioritas)
Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Identity vs Identity Confusion (Identitas vs Kebingungan Peran)
Tahap kelima ini merupakan tahap remaja, yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.
Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Isolasi)
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Generativity vs Stagnation (Semangat-berbagi vs Penyerapan-diri)
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
Ego Integrity vs Despair (Integritas Ego vs Rasa Putus Asa)
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya.
TEORI PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL
Teori perkembangan psikoseksual dikemukakan oleh Sigmund Freud, seorang developmentalis asal Freiberg, Moravia, bagian dari negara Chekoslavia. Teori ini merupakan salah satu teori yang paling terkenal, namun juga salah satu teori yang paling kontroversial. Freud percaya kepribadian yang berkembang melalui serangkaian tahapan masa kanak-kanak di mana mencari kesenangan-energi dari id menjadi fokus pada area sensitif seksual tertentu. Energi psikoseksual, atau libido, digambarkan sebagai kekuatan pendorong di belakang perilaku.
Menurut Sigmund Freud, kepribadian sebagian besar dibentuk oleh usia lima tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan terus mempengaruhi perilaku di kemudian hari.
Jika tahap-tahap psikoseksual selesai dengan sukses, hasilnya adalah kepribadian yang sehat. Jika masalah tertentu tidak diselesaikan pada tahap yang tepat, fiksasi dapat terjadi. fiksasi adalah fokus yang gigih pada tahap awal psikoseksual. Sampai konflik ini diselesaikan, individu akan tetap “terjebak” dalam tahap ini. Misalnya, seseorang yang terpaku pada tahap oral mungkin terlalu bergantung pada orang lain dan dapat mencari rangsangan oral melalui merokok, minum, atau makan.
1. Tahap Oral
Bulan pertama. Pada tahap oral, sumber utama bayi interaksi terjadi melalui mulut, sehingga perakaran dan refleks mengisap adalah sangat penting. Mulut sangat penting untuk makan, dan bayi berasal kesenangan dari rangsangan oral melalui kegiatan memuaskan seperti mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya tergantung pada pengasuh (yang bertanggung jawab untuk memberi makan anak), bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan melalui stimulasi oral.
Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harus menjadi kurang bergantung pada para pengasuh. Jika fiksasi terjadi pada tahap ini, Freud percaya individu akan memiliki masalah dengan ketergantungan atau agresi. fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah dengan minum, merokok makan, atau menggigit kuku.
2. Tahap Anal
Selama tahun kedua atau ketiga kehidupan anak. Pada tahap anal, Freud percaya bahwa fokus utama dari libido adalah pada pengendalian kandung kemih dan buang air besar. Konflik utama pada tahap ini adalah pelatihan toilet – anak harus belajar untuk mengendalikan kebutuhan tubuhnya. Mengembangkan kontrol ini menyebabkan rasa prestasi dan kemandirian.
Menurut Sigmund Freud, keberhasilan pada tahap ini tergantung pada cara di mana orang tua pendekatan pelatihan toilet. Orang tua yang memanfaatkan pujian dan penghargaan untuk menggunakan toilet pada saat yang tepat mendorong hasil positif dan membantu anak-anak merasa mampu dan produktif. Freud percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini menjabat sebagai dasar orang untuk menjadi orang dewasa yang kompeten, produktif dan kreatif.
Namun, tidak semua orang tua memberikan dukungan dan dorongan bahwa anak-anak perlukan selama tahap ini. Beberapa orang tua ‘bukan menghukum, mengejek atau malu seorang anak untuk kecelakaan. Menurut Freud, respon orangtua tidak sesuai dapat mengakibatkan hasil negatif. Jika orangtua mengambil pendekatan yang terlalu longgar, Freud menyarankan bahwa-yg mengusir kepribadian dubur dapat berkembang di mana individu memiliki, boros atau merusak kepribadian berantakan. Jika orang tua terlalu ketat atau mulai toilet training terlalu dini, Freud percaya bahwa kepribadian kuat-analberkembang di mana individu tersebut ketat, tertib, kaku dan obsesif.
3. Tahap Falik atau Odipal
Pada tahap phallic , fokus utama dari libido adalah pada alat kelamin. Anak-anak juga menemukan perbedaan antara pria dan wanita. Freud juga percaya bahwa anak laki-laki mulai melihat ayah mereka sebagai saingan untuk ibu kasih sayang itu. Kompleks Oedipusmenggambarkan perasaan ini ingin memiliki ibu dan keinginan untuk menggantikan ayah.Namun, anak juga kekhawatiran bahwa ia akan dihukum oleh ayah untuk perasaan ini, takut Freud disebut pengebirian kecemasan.
Istilah Electra kompleks telah digunakan untuk menggambarkan satu set sama perasaan yang dialami oleh gadis-gadis muda. Freud, bagaimanapun, percaya bahwa gadis-gadis bukan iri pengalaman penis.
Akhirnya, anak menyadari mulai mengidentifikasi dengan induk yang sama-seks sebagai alat vicariously memiliki orang tua lainnya. Untuk anak perempuan, Namun, Freud percaya bahwa penis iri tidak pernah sepenuhnya terselesaikan dan bahwa semua wanita tetap agak terpaku pada tahap ini. Psikolog seperti Karen Horney sengketa teori ini, menyebutnya baik tidak akurat dan merendahkan perempuan. Sebaliknya, Horney mengusulkan bahwa laki-laki mengalami perasaan rendah diri karena mereka tidak bisa melahirkan anak-anak.
4. Fase Latensi
Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap ada, tetapi diarahkan ke daerah lain seperti pengejaran intelektual dan interaksi sosial. Tahap ini sangat penting dalam pengembangan keterampilan sosial dan komunikasi dan kepercayaan diri.
Freud menggambarkan fase latens sebagai salah satu yang relatif stabil. Tidak ada organisasi baru seksualitas berkembang, dan dia tidak membayar banyak perhatian untuk itu. Untuk alasan ini, fase ini tidak selalu disebutkan dalam deskripsi teori sebagai salah satu tahap, tetapi sebagai suatu periode terpisah.
5. Tahap Genital atau Pubertas
Menurut Freud dalam Crain (2007) tahap ini dimulai sekitar usia 11 tahun untuk anak perempuan, dan 13 tahun untuk anak laki-laki. Tahap ini merupakan tahap akhir perkembangan psikoseksual, individu mengembangkan minat seksual yang kuat pada lawan jenis. Freud mengatakan bahwa dari pubertas ke depan, tugas terbesar individu adalah membebaskan dari perwalian orang tua. Sebagai contoh, bagi remaja laki-laki maka dia membebaskan ikatan dengan ibu dan menemukan wanita yang disukainya. Kemudian dia juga harus menyelesaikan persaingannya dengan ayah dan membebaskan diri dari dominasi ayah atas dirinya.
Apabila dalam tahap-tahap awal fokus hanya pada kebutuhan individu, maka kepentingan kesejahteraan orang lain tumbuh selama tahap ini. Jika tahap lainnya telah selesai dengan sukses, individu sekarang harus seimbang, hangat dan peduli. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menetapkan keseimbangan antara berbagai bidang kehidupan
TEORI PERKEMBANGAN MORAL
Perkembangan sosial merupakan proses perkembangan kepribadian individu selaku anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008) moral diartikan sebagai ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral juga dapat diartikan sebagai kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, bersedia berkorban, menderita, menghadapi bahaya, dan sebagainya atau keadaan perasaan sebagaimana diungkapkan dalam perbuatan. Sementara itu Moral disini dapat diartikan sebagai ajaran kesusilaan. Individu hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan.
Seperti dalam proses perkembangan yang lainnya, proses perkembangan sosial dan moral selalu berkaitan dengan proses belajar. Kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik dilingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.
Dalam psikologi belajar terdapat berbagai aliran pemikiran yang berhubungan dengan perkembangan moral. Diantara ragam aliran pemikiran perkembangan sosial tersebut yang paling terkenal adalah Aliran teori cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg. Serta Aliran teori Social Learning dengan tokoh utama Albert. Bandura dan R.H Walters. Dalam makalah ini yang akan kita bahas adalah aliran pemikiran cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg.
Menurut Piaget
Dalam bukunya The moral judgement of the Child (1923) Piaget menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut. Pertama kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan) dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu. Piaget mengamati anak-anak bermain kelereng, suatu permainan yang lazim dilakukan oleh anak-anak diseluruh dunia dan permainan itu jarang diajarkan secara formal oleh orang dewasa. Dengan demikian permainan itu mempunyai peraturan yang jarang atau malah tidak sama sekali ada campur tangan orang dewasa. Dan melalui perkembangan umur maka orientasi perkembangan itupun berkembang dari sikap heteronom (bahwasannya peraturan itu berasal dari diri orang lain) menjadi otonom 9 dari dalam diri sendiri. Pada tahap heteronom anak-anak menggangap bahwa peraturan yang diberlakukan dan berasal dari bukan dirinya merupakan sesuatu yang patut dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati oleh pemain. Pada tahap otonom, anak-anak beranggapan bahwa perauran-peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama antara para pemain.
Anak-anak pada usia paling muda hingga umur 2 tahun melakukan aktivitas bermain dengan apa adanya, tanpa aturan dan tanpa ada hal yang patut untuk mereka patuhi. Mereka adalah motor activity tanpa dipimpin oleh pikiran. Pada tahap ini merepa belum menyadari adanya peraturan yang koersif, atau bersifat memaksa dan harus di taati. Dalam pelaksanaannya peraturan kegiatan anak-anak pada umur itu merupakan motor activiy.
Anak-anak pada umur antara 2 sampai 6 tahun mereka telah mulai memperhatikan dan bahkan meniru cara bermain anak-anak yang lebih besar dari mereka. Pada tahap ini anak-anak telah mulai menyadari adanya peraturan dan ketaatan yang telah dibuat dari luar dirinya dan harus ditaati dan tidak boleh diganggu gugat. Pada tahap ini anak-anak cenderung bersikap egosentris, mereka akan memandang “sangat salah” apabila aturan yang telah ada di ubah dan dilanggar. Dan ia meniru apa yang dilihatnya semata-mata demi untuk dirinya sendiri, tidak tahu bahwa bermain adalah aktivitas yang dilakukan dengan anak-anak lainnya. Sehingga meskipun bermain dilakukan secara bersama sama namun sebenarnya mereka bermain secara individu, sendiri-sendiri dengan melakukan pola dan cara yang mereka yakini sendiri. Pelaksanaan yang bersifat egosentris merupakan tahap peralihan dari tahap yang individualistis murni ke tahap permainan yang bersifat sosial.
Anak pada usia 7-10 tahun beralih dari kesenangan yang semata-mata psikomotor kepada kesenangan yang didapatkan dari persaingan dengan kawan main dengan mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku dan disetujui bersama. Walaupun sebenarnya tidak faham akan peraturan sampai hal yang paling kecil namun keinginan untuk bekerja sama dengan kawan bermain amatlah besar. Anak ingin memahami peraturan dan bermain dengan setiap mengikuti peraturan itu. Pada tahap ini sifat heteronom berangsur menjadi otonom.
Pada usia 11 sampai 12 tahun kemampuan anak untuk berfikir abstrak mulai berkembang. Pada umur umur itu, kodifikasi ( penentuan) peraturan sudah dianggap perlu. Kadang-kadang mereka lebih asyik tertarik pada soal-soal peraturan daripada menjalankan permainannya sendiri.
Menurut Kohlberg
Teori Piaget kemudian menjadi inspirasi bagi Kohlberg. Hal yang menjadi kajian Kohlberg adalah tertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri. Melalui penelitian yang dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf
1. Taraf Pra-Konvensional
Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka) kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah. Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya. Pada taraf ini terdiri dari dua tahpan yaitu :
1) punishment and obedience orientation. Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat secara buta pada yang berkuasa diangga bernilai pada dirinya sendiri.
2) Instrument-relativist orientation. Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli di pasar. Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya.
2. Conventional Level (taraf konvensional)
Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai pada dirinya sendiri. Anak tidak hanya mau berkompromi , tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban social. Dua tahap dalam taraf ini adalah :
1) Tahap interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation. Tingkah laku yang lebih baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau yang menolong orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Supaya diterima dan disetujui orang lain seseorang harus berlaku “manis”. Orang berusaha membuat dirinya wajar seperti pada umumnya orang lain bertingkah laku. Intensi tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda dari pelaksanaanya sudah diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya yang hampir mati dianggap berintensi baik.
2) Tahap law and order, orientation. Otoritas peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban social dijunjung tinggi dalam tahap ini. Tingkah laku disebut benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban social.
3. Post Konvensional Level (taraf sesudah konvensional)
Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana. Tahapannya adalah :
1)Social contract orientation. Dalam tahap ini orang mengartikan benar-salahnya suatu tindakan atas hak-hak individu dsan norma-norma yang sudah teruji di masyarakat. Disadari bahwa nilai-nilai yang bersiat relative, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu consensus bersama.
2)The universal ethical principle orientation. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara nurani hati. Sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dianut oleh orang yang bersangkutan, prinsip prinsip etis itu bersifat avstrak. Pada intinya prinsip etis itu adalah prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat( nilai) manusia sebagai pribadi.
DAFTAR RUJUKAN
Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Anonymous. 2007. Search Books, Presentations, Business, Academics. (Online), (http://www.scribd.com. Diakses 15 Nopember 2010)
Anonymous. 2010. wikipedia. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perkembangan_kognitif. Diakses 15 Nopember 2010).
Crain, W. 2007. Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dariyo, A. 2003. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Gunarsa, D. S & Gunarsa D.S.Y. 1991. Psikologi Praktis : Anak, Remaja Dan Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Long, J. S. 1984. Adult Life. California: Mayfield Publishing Company.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Universitas Negeri Malang. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (PPKI). Malang: Universitas Negeri Malang.
Walgito, B. 1999. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar