IDEOLOGI SUBKULTUR PUNK
DITINJAU DARI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
LATAR BELAKANG MASALAH
Ketika melintasi pertigaan atau perempatan jalan, pandangan mata kita sering tertuju pada sekelompok pemuda berpakaian dan bergaya aneh yang tengah bergerombol di tepi jalan, di bawah pohon rindang, di trotoar-trotoar. Mereka biasanya ditemani sebuah gitar yang penuh dengan tempelan stiker, kadang tercium pula aroma alkohol. Sekali lagi perhatian kita tertuju pada objek-objek sepele yang mereka tunjukkan, tindik di cuping telinga maupun di hidung, celana ketat, jaket kulit, sepatu boots, rantai, spike atau rambut yang dipotong mohawk ala suku Indian dan diberi warna-warna terang. Mereka mengidentifikasi diri sebagai punker.
Pertama kali saat melihat mereka, apa yang terlintas di pikiran kita? Aneh. Menakutkan. Liar. Mengganggu kenyamanan. Mungkin juga biang keonaran. Dan masih banyak lagi berbagai persepsi negatif sering kita tujukan kepada mereka. Persepsi adalah proses memilih, mengkategorikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kemudian mempengaruhi perilaku kita. Apakah persepsi negatif yang kita tujukan kepada mereka adalah salah, tidak sepenuhnya demikian, kita mungkin hanya terlalu cepat untuk memberikan penilaian kepada mereka. Namun bagaimana pun budaya mempengaruhi persepsi kita atas segala sesuatu, sedangkan apa yang ditunjukan oleh para punker itu kepada kita memang tidak lazim atau berbeda. Itulah sebabnya wajar apabila kita memiliki persepsi negatif atas keberadaan mereka.
Disisi lain, persepsi tentang bagaimana menjadi punk itu sendiri juga sering disalahpahami oleh sebagian generasi muda yang menyebut dirinya punker. Sebagian pemuda itu berpendapat dengan berpakaian ala punk, ditemani nyanyian Johny Rotten (Sex Pistols) setiap akan tidur, dan setiap pagi dibangunkan oleh musiknya Exploited, lalu muncul di jalan dengan dandanan rambut mohawk, jaket penuh berbagai macam model pin, celana jeans penuh tambalan dan sepatu boot usang yang setia menemani, ditindik, ditato, maka mereka sudah berhak menjadi punker.
Sebagian pemuda ini mengartikan punk sebagai hidup bebas tanpa aturan. Pemahaman tidak tepat dan setengah-setengah inilah yang mengakibatkan banyak dari mereka kemudian melakukan tindakan yang membuat resah masyarakat. Tindakan-tindakan tersebut diantaranya adalah minum-minuman keras di muka umum secara bergerombol, bahkan ada yang meminta uang secara paksa kepada masyarakat yang melintas di depan mereka meski dengan jumlah yang tidak banyak.
Masyarakat yang awam mengenai punk kemudian menarik kesimpulan bahwa punk adalah segerombolan pemuda yang berperilaku negatif. Dandanan mereka yang dianggap nyeleneh itu bagi sebagian besar masyarakat dianggap menyimpang, dicela, bahkan diperlakukan sekali waktu sebagai segerombol badut jalanan, perusuh, yang mengganggu keindahan kota dan lain kali sebagai ancaman bagi ketentraman dan ketertiban umum, kriminal kelas rendah, pemabuk berbahaya. Apalagi dengan musik hingar bingar dengan lirik yang berisi kritikan kasar, kecaman, dan perlawanan semakin menyempurnakan miringnya persepsi masyarakat tentang punk. Bahkan ada pula yang menganggap punk hanya sekedar aliran musik keras. Padahal apabila kita mau mengupas lebih dalam tentang apa yang dimaksud dengan punk, itu semua bukanlah cerminan dari punk sebenarnya. Dengan kata lain kita dan sebagian mereka yang menyebut dirinya punker hanya melihat kulit luarnya saja. Memang juga banyak para punker yang benar-benar menerapkan sejatinya punk, namun stigma yang terbentuk dari apa yang ditunjukan oleh sebagian pemuda yang mengaku sebagai punker namun tidak memahami arti sebenarnya punk di masyarakat telah membuat stereotip, yaitu penyamarataan atas sekelompok orang dengan mengabaikan ciri-ciri mereka yang individual.
Permasalahan disini adalah komunikasi yang tidak efektif karena persepsi yang tidak akurat antara para punker dengan masyarakat. Setiap orang memiliki gambaran yang berbeda mengenai realita disekelilingnya, ditentukan oleh nilai-nilai sosial dimana seseorang itu berada. Itulah kenapa perbedaan yang ditunjukan oleh para punker itu dianggap menyimpang, selanjutnya dengan mudah dinilai negatif oleh masyarakat, karena kita memang memiliki kecenderungan untuk bersikap etnosentris, yaitu menggunakan cara pandang budaya kita sendiri untuk melihat atau memaknai segala sesuatu.
TINJAUAN PUSTAKA
Ideologi
Ideologi dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) dapat diartikan sebagai sekumpulan konsep bersistem; cara berpikir seseorang atau suatu golongan manusia; paham, teori, dan tujuan yg berpadu merupakan satu program sosial politik. Sehingga dapat kita tarik kesimpulan bahwa ideologi bisa berarti cara berpikir seseorang atau kelompok yang membentuk sekumpulan konsep bersistem, berupa pemahaman, maupun teori dengan tujuan tertentu.
Menurut Hebdige (1999) karena ideologi memadati diskursus sehari-hari dalam bentuk akal sehat, ia tak dapat dikelompokkan terpisah dari kehidupan sehari-hari sebagai serangkaian pendapat politis atau pandangan bias tertutup. Tak dapat pula direduksi sebagai dimensi abstrak dari suatu pendangan dunia.
Volosinov dalam Hebdige (1999) berpendapat setiap tanda dikenai kriteria evaluasi ideologis. Ranah ideologis bertemu dengan ranah tanda-tanda. Keduanya saling menyesuaikan. Kapan pun satu tanda hadir, ideologi hadir pula di situ. Segala sesuatu yang ideologis memiliki nilai semiotik.
Subkultur
Hebdige (1999) berpendapat bahwa kata subkultur sarat dengan misteri. Ia mengesankan kerahasiaan, janji persekutuan rahasia, suatu Dunia Bawah. Ia juga melibatkan konsep lebih besar yang tak kalah sulit, yakni kultur.
Oxford English Dictionary menyebutkan dalam Hebdige (1999) kultur dapat diartikan menumbuhkan, memelihara, menurut para pengarang Kristen, mempersembahkan; perbuatan atau praktik bercocok tanam; menggarap tanah, beternak; menumbuhkan atau memelihara hewan tertentu (misalnya ikan); penumbuhan buatan organisme renik, organisme yang diproduksi dengan cara ini; pertumbuhan atau perkembangan (pikiran, kecakapan, tata cara), perbaikan atau penghalusan melalui pendidikan dan pelatihan; kondisi dilatih atau dihaluskan; sisi intelektual peradaban; pelaksanaan atau pelatihan khusus atau kajian tentang subjek atau usaha apapun.
Arnold dalam Hebdige (1999) mendifinisikan kultur sebagai acuan keunggulan estetik yang terbaik dari yang telah dipikirkan dan dikatakan di dunia ini. Sedangkan menurut Williams (1965) kultur mengacu pada cara hidup tertentu yang mengekspresikan makna dan nilai tertentu bukan hanya di dalam seni dan pembelajaran, tapi juga di dalam intstitusi dan perilaku sehari-hari. Analisis kultur, dengan definisi semacam ini, adalah penjelasan tentang makna dan nilai yang tersirat dan tersurat dalam cara hidup tertentu, kultur tertentu.
Apabila kita mendifinisikan kultur ke dalam bahasa Indonesia, maka kita akan mendapatkan arti culture dari bahasa Inggris menjadi pemeliharaan tanam-tanaman; kebudayaan ( Wojowasito dan Wasito, 1980). Kita mengambil pemaknaan yang lebih tepat digunakan untuk permasalahan yang kita angkat yaitu culture berarti kebudayaan.
Kebudayaan sendiri dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia (seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat). Sedangkan menurut Edward Burnett Tylor dalam karyanya berjudul Primitive Culture, dalam Liliweri (2003) kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.
Sedangkan sub dalam bahasa Indonesia berarti bawah; agak; hampir. Kita dapat menarik makna dari penerjemahan tersebut bahwa subkultur atau sub-culture yakni bawah-kebudayaan, atau merupakan bagian kecil dibawah atau dari suatu kebudayaan besar.
Menurut Liliweri (2003) yang dimaksud dengan subkultur adalah suatu kelompok atau sub unit budaya yang berkembang ketika adanya kebutuhan sekelompok orang untuk memecahkan sebuah masalah berdasarkan pengalaman bersama. Apa yang mereka hasilkan itu acapkali merupakan suatu resolusi yang kontradiktif dalam struktur sosial bersama, akibat selanjutnya adalah kelompok itu membentuk suatu identitas kolektif dari sejumlah identitas individual yang pada akhirnya mereka diterima bersama. Kebudayaan subkultur acapkali merupakan gambaran sebuah kelompok minoritas yang ada dalam kehidupan budaya mayoritas.
Komunikasi Antarbudaya
William B. Hart II berpendapat dalam Liliweri (2003) bahwa komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi. Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata akan tetapi merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut Liliweri (2003) definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambah kata budaya ke dalam perkataan: komunikasi antara dua orang atau lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan. Dengan kata lain, komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan.
Deddy Mulyana (2010) mengemukakan sejak awal peradaban saat manusia membentuk kelompok-kelompok (suku), komunikasi antarbudaya berlangsung setiap suatu kelompok bertemu kelompok lainnya. Sayangnya, tanpa adanya pengetahuan mengenai budaya orang lain, perbedaan di antara kelompok-kelompok ini sering ditanggapi dengan kecurigaan atau permusuhan.
Menurut Bennet dan Bennet dalam Mulyana (2010), kompetensi antarbudaya adalah kemampuan berkomunikasi efektif dalam situasi lintas budaya dan berhubungan layak dalam berbagai konteks budaya. Jadi diharapkan komunikasi antar budaya dapat membentuk Manusia Antarbudaya atau Manusia Multibudaya, yakni manusia yang memiliki kepekaan budaya, menghormati semua budaya, memahami apa yang orang lain pikirkan, rasakan, dan percayai, serta menghargai perbedaan antarbudaya (Mulyana, 2010).
ANALISA IDEOLOGI SUBKULTUR PUNK DITINJAU DARI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Asal Usul Punk
Meski saat ini masyarakat lebih mengenal punk dari sisi fashion dan musik, namun sebenarnya punk bukanlah sekedar fashion dan musik saja. Punk lahir di awal tahun 1970-an di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead, skinhead sendiri yaitu salah satu subkultur yang juga lahir di London sekitar satu dekade sebelum punk. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mereka mempunyai semangat yang sama.
Berawal dari suatu generasi di Amerika dan Inggris inilah yang kemudian berkembang menjadi bervariasi di berbagai belahan dunia baik itu secara positif maupun negatif, tergantung dari pelakunya sendiri, sekaligus menjadi barang komersil yang laris di berbagai media.
Difinisi menurut kamus bahasa Inggris, punk bisa berarti tidak penting, tidak berguna, omong kosong, atau orang yang tidak berarti. Kita lupakan pengertian punk dalam kamus bahasa, punk sejatinya adalah perilaku yang lahir dari sifat melawan, tidak puas hati, marah, dan benci pada sesuatu yang tidak pada tempatnya, baik itu sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan juga agama, terutama terhadap tindakan yang menindas.
Para punker kemudian mewujudkan rasa itu ke dalam lirik-lirik lagu, musik dan penampilan fisik. Dengan kata lain, punk menyampaikan kritikan. Mereka hidup bebas namun tetap bertanggung jawab pada setiap pemikiran dan tindakannya. Maka dari itu, mereka menciptakan perlawanan yang hebat dengan realisasi musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan yang mereka bentuk sendiri.
Menurut Widya G (2010) kata punk pertama kali muncul dalam esai tahun 1970 berjudul The Punk Muse: The True Story of Protopathic Spiff Including the Lowdown on the Trouble-Making Five-Percent of America’s Youth yang ditulis oleh Nick Tosches di majalah Fusion. Nick menyebutkan musik punk sebagai tangisan sedih menuju jurang omong kosong. Jika dalam puisi, maka puisi itu dimuntahkan tanpa plot. Waktu itu, banyak bermunculan musik bawah tanah (underground) akibat kebosanan serta kegelisahan generasi muda Amerika kalangan menengah ke bawah. Beberapa group musik underground bermunculan di Amerika seperti di New York ada New York Dolls di Mercer Arts Center, lalu Ricard Hell, Television, The Ramones, The Dead Boys, Patti Smith, Rocket from the Tombs di BGB-OMFUG (Country, Bluegrass, Blues, and Other Music for Uplifting Gourmandizers). Sementara itu, di Detroit muncul band-band underground seperti The Electric Eels, Friction, dan Devo.
Mereka merasa bosan dengan konsepsi musik yang bersifat konvensional dan ingin menciptakan sesuatu yang benar-benar baru, sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada selama ini. Mereka juga gelisah dan bosan karena resesi ekonomi yang parah di Amerika sejak awal 1970-an, terjadinya krisis ekonomi yang sangat parah diikuti kemerosotan moral para tokoh politik, terjadi perang Vietnam berkepanjangan, dan kegagalan kebijakan ekonomi Presiden Ronald Reagan yang disebut Reaganomic.
Krisis yang terjadi demikian kompleks, krisis kepercayaan yang bahkan kemudian mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri penduduknya dan kesulitan ekonomi yang khususnya sangat dirasakan masyarakat kalangan kelas ekonomi menengah ke bawah. Keadaan yang tak pasti tersebut mendorong untuk menciptakan sebuah identitas yang menunjukan keberadaan mereka.
Selanjutnya, sejak ulasan Nick Tosches, istilah punk semakin dikukuhkan untuk menyebutkan scene musik underground yang sebenarnya tidak sepenuhnya bergerak di bawah tanah. Semua tentang konsepsi punk pada masa itu menggambarkan segala sesuatu yang menantang, mengganggu, dan mengancam, yakni sesuatu yang menarik ke sisi yang lebih gelap.
Kedatangan punk sebagai sebuah budaya perlawanan atas kebosonan dan kegelisahan dalam masyarakat ditandai dengan poster yang disebarkan di kota New York berbunyi: Watch Out! Punk Is Coming!
Demikian pula ketika punk muncul di Inggris, negara itu sedang mengalami krisis ekonomi sehingga banyak masalah timbul seperti pengangguran yang parah, dan meningkatnya kekerasan di jalanan. Kondisi ini sangat terasa bagi kalangan kelas pekerja yang terpisah dari kehidupan sosial larena harus bekerja sepenuh waktu. Oleh karena itulah generasi muda di Inggris khususnya yang berasal dari kalangan kelas pekerja, menjadikan punk sebuah wadah yang mewakili suara mereka. Punk menjadi sebuah terobosan dalam hal kebebasan berbicara bagi kaum muda kelas bawah yang jarang memiliki suara, baik secara budaya maupun politik.
Dengan berlalunya waktu, punk Inggris berhasil mempengaruhi dunia musik dan merambah ke setiap budaya dominan hingga masa kini. Pencapaian itu menjadi bukti bahwa punk bukanlah sampah, bukan omong kosong, bukan orang tidak berarti. Dalam perjalanannya pada suatu kurun waktu, punk sempat berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock yang mapan. Oleh sebab itu, punk mencoba melihat dari sudut pandang lain dengan menciptakan lirik-lirik lagu berupa teriakan protes. Bukan hanya lirik tentang teriakan protes para demostran terhadap kejamnya dunia, melainkan juga menceritakan rasa frustasi, kemarahan, dan kejenuhan yang semuanya berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta tindakan represif aparat, pemerintah, dan figur penguasa terhadap rakyat.
Dandanan punk yang terlihat lusuh, kacau, nyeleneh, dan jauh dari kesan mapan pun melengkapi perwujudan dari protes mereka akan situasi dan kondisi yang terjadi. Akan tetapi, karena itu pulalah, tidak sedikit dari mereka yang tadinya tidak mapan secara materi begitu mendapatkan kemapanan justru merusak diri sendiri. Lingkungan baru di sekitar mereka telah mengubah mereka menjadi pribadi yang labil. Banyak dari mereka yang kemudian justru terperosok ke dalam pergaulan yang tidak sehat, terjerat narkoba, dan perilaku negatif lainnya sehingga akhirnya mengesampingkan tujuan semula. Widya G (2010) berpendapat mungkin dari sinilah awal mula munculnya pandangan negatif masyarakat terhadap punk. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga.
Bagaimana pun, setiap perjalanan atau kejadian selalu ada hikmah yang dapat kita petik. Berkaitan dengan punk, subkultur ini lahir dari ketidak berdayaan. Punk menunjukan kekuatan justru dengan bantuan kekuatan dominan yang jadi lawannya, yakni kaum kapitalis. Gaung punk bisa terdengar hingga ke seluruh dunia justru karena sokongan kaum kapitalis yang menganggap punk sebagai sebuah komoditi yang menguntungkan. Sementara dalam mencapai tujuannya tersebut, punker adalah seorang atau sekelompok orang yang gigih dan kreatif.
Seandainya masyarakat dan generasi muda mau menilik ideologi awal yang diusung oleh punk, maka mereka akan sadar bahwa telah terjadi kesalahan persepsi dan realisasi punk di dunia modern.
Punk di Indonesia
Banyak yang berpendapat, termasuk para pengamat, sarjana antropologi, bahkan para aktivis punk sendiri, bahwa kehadiran punk di Indonesia bukan karena gejolak sebagaimana awal kemunculannya di daerah asalnya di Inggris ataupun di Amerika. Subkultur punk dan variannya dikenal pertama kali di Indonesia sebagai sebuah bentuk musikal dan dan fashion statement.
Menurut Yasraf Amir Piliang dalam Beyond the Barbed Wire (2005) punk lahir tanpa subtansi sejak awal. Ia tidak lahir dari sebuah bentuk resistensi, melainkan dari sebuah kerinduan akan sebuah bentuk representasi baru saat ada tak hal lama yang dapat merepresentasikan diri kita lagi. Maka tidak mengherankan apabila hal-hal yang subtansial baru hadir bertahun-tahun setelah punk dikenal secara musikal dan dalam konteks fashionnya. Ini adalah sebuah keterlanjuran.
Pendapat yang dikemukakan Yasraf tersebut sebenarnya merupakan tanggapan dari tulisan KoAing dalam Subciety Record Newsletter Vol.1 yang diterbitkan Agustus 2005 berjudul ”Perlukah Resistensi Menguak di kalangan sendiri?”. Namun apa yang disampaikan Yasraf tersebut bukan tanpa pengamatan yang panjang. Kenyataannya, di Bandung, punk secara musikal telah dikenal sejak akhir tahun 1970-an, tidak lama setelah awal kemunculannya. Hal ini pernah dibahas dalam majalah remaja HAI di era tahun 1980-an, kemudian gaya berpakaiannya pun diadopsi kelompok-kelompok preman jalanan. Baru pada akhir 1980-an bermunculan kelompok-kelompok punk dari kalangan kelas menengah karena saat itu hanya mereka yang memiliki finansial tinggilah yang memiliki akses informasi terhadap produk kultural ini. Pada pertengahan tahun 1990-an, hal-hal subtansial tentang apa sebenarnya subkultur ini mulai hadir ke permukaan. Apabila kita melihat perkembangan pengenalan subkultur punk tersebut di Indonesia, maka kita tidak bisa menganggap apa yang disampaikan Yasraf adalah sekedar omong kosong. Pendapat itu pun didukung oleh Widya G (2010), dia juga berpendapat masuknya ke Indonesia merupakan berkat pemberitaan media mainstream, dan dikenal pertama kali dalam bentuk musik dan fashion.
Berbagai argumen yang disampaikan melalui email oleh Yasraf tentang subkultur punk cukup menuai perdebatan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang disampaikannya cukup menarik untuk dikaji, cerdas, dan provokatif. Dalam tulisannya, Yasraf menyimpulkan kehadiran (sub) kultur punk di Indonesia tanpa hal-hal yang substansial, lahir sebagaimana produk posmodern lainnya, yakni muncul tanpa esensi. Ada cukup banyak hal yang mendorong terjadinya hal ini, antara lain karena gap bahasa, yang menurut Yasraf nyaris tidak ada anggota subkultur ini yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Namun pendapat Yasraf lemah untuk diberlakukan di masa sekarang, mengingat saat ini banyak anggota subkultur punk yang justru berasal dari kalangan intelektual.
Yasraf menyebut gap berikutnya adalah ekonomi, punk di Indonesia didominasi oleh remaja yang secara finansial cenderung aman, para remaja kelas menengah yang masih memiliki harapan mapan di masa depan. Sangat berbeda dari asal mula munculnya subkultur ini.
Dalam ulasan di berbagai media, banyak bermunculan pendapat mendukung apa yang dikemukakan Yasraf. Kelahiran Punk di Indonesia tidak memiliki sejarah panjang sebagaimana di negara asalnya, sehingga sangat wajar apabila hanya musik dan fashionnya saja yang kemudian diadaptasi. Karena, kelahiran Punk di Indonesia bukan sebagai bentuk tanggapan atau perlawanan terhadap suatu kondisi tertentu, tetapi lebih sebagai bentuk imitasi.
Pendapat yang berbeda menyatakan kemunculan punk di Indonesia memang berbeda dari negara asalnya, akan tetapi kemunculan punk di Indonesia adalah karena keinginan untuk mencari sesuatu yang baru sebagai aktualisasi para remaja. Dalam salah satu ulasan Cakrawala Newsletter yang diterbitkan Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang (2005), Punk disebut sebagai sebuah semangat untuk menghadapi hidup dengan kreativitas tinggi. Semangat untuk perubahan, ketidaktergantungan, proses kreatif dan peduli terhadap politik.
Banyak para remaja yang bergabung dalam komunitas punk memiliki pandangan positif, misalkan saja cerita salah seorang pemuda yang bergabung dalam komunitas punk di kota Malang bernama Sony. Menurut Sony meskipun penampilan punk terlihat berbeda, aneh, lusuh namun bukan berarti tingkah laku dan perbuatan mereka juga buruk. Sony berpendapat apabila ada seorang yang terlihat secara fisik seperti punk namun melakukan tindakan kriminal, berarti dia bukan lah punk melainkan preman. Ada perbedaan yang sangat signifikan antara punk dengan preman. Preman yang dimaksudkan disini bukanlah free-man yang artinya orang bebas atau masyarakat sipil, swasta, partikelir, nonpemerintah, bukan tentara, melainkan preman di sini dikonotasikan sebagai sebutan bagi orang jahat, yang suka memeras dan melakukan tindakan kriminal.
Menurut Widya G (2010) punk yang menciptakan perubahan, gaya hidup, komunitas, dan budaya sendiri juga berlaku di Indonesia bahkan cukup marak. Widya G (2010) mencontohkan komunitas Taring Babi, salah satu komunitas anak-anak punk dari Jakarta Selatan yang suka bersosialisasi. Mereka jauh dari kesan menyeramkan. Meski bergaya punk, mereka suka melakukan kegiatan yang melibatkan masyarakat sekitar, seperti menyablon, melukis, cukil kayu, membuat souvenir, atau belajar membuat tatoo. Mereka sering menerima order membuat tatoo dan sengaja tidak mau dibayar dengan uan, tetapi dengan beras. Lalu beras tersebut mereka bagi-bagikan kepada warga sekitar yang kurang mampu.
Contoh lain, komunitas Klaker Barmy Army, merupakan komunitas anak-anak punk dari kota Malang yang juga kerap kali mengadakan kegiatan pemuda dan sosial kemasyarakatan. Diantaranya mengajarkan ketrampilan menyablon dan membuat design komunikasi visual pada masyarakat sekitar, berbagai kegiatan apresiasi seni musik, lukis, tatoo, maupun kegiatan penghijauan dan penggalangan dana untuk korban bencana alam.
Tidak ketinggalan pula komunitas punk dari kalangan mahasiswa, Aspirasi Crew, bagian dari OPIUM, salah satu organisasi seni di Universitas Negeri Malang. Mereka juga sering menggelar kegiatan-kegiatan sosial, termasuk penggalangan dana bencana alam, kampanye persamaan hak dan semangat solidaritas, sampai dengan kampanye terkait isu Pemanasan Global atau yang lebih dikenal Global Warming.
”Kami menggelar berbagai kegiatan untuk komunitas punk dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, sampai dengan mereka yang benar-benar hidup di jalanan. Kami ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa komunitas punk, meski dengan dandanan yang nyeleneh, lusuh, aneh, norak dan berbeda. Namun mereka memiliki kepedulian sosial yang tinggi, bahkan daripada mereka yang berbaju necis dan berdasi. Kita ingin mengajak masyarakat untuk tidak terburu-buru menilai sesuatu hanya dari kulit luarnya saja, namun lebih pada isi di dalamnya,” papar Nonok, ketua OPIUM periode 2006-2007.
Dari beberapa fenomena diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa masuknya subkultur punk ke Indonesia tidak diadopsi secara mentah begitu saja, namun telah mengalami proses akulturasi. Sehingga kita tidak bisa membandingkan dalam pengertian sempit, subkultur punk di negara asalnya, baik itu di Inggris maupun di Amerika dengan subkultur punk di Indonesia Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) akulturasi itu sendiri diartikan sebagai percampuran dua kebudayaan atau lebih, misal percampuran kebudayaan Cina dengan kebudayaan Jakarta, percampuran budaya Hindu-India dengan budaya masyarakat Jawa, kemudian budaya Hindu-Jawa dengan Islam; Akulturasi juga dapat diartikan proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat dengan penyerapan sebagian (kecil sekali), penyerapan yang agak banyak atau penolakan sama sekali terhadap kebudayaan asing itu; atau proses pertemuan kebudayaan yg tampak dalam penggunaan bahasa yang ditandai dengan penyerapan atau peminjaman kata-kata, bahkan timbulnya bilingualisme.
Suatu budaya yang telah diakulturasi ke suatu daerah yang lain tidak dituntut untuk harus sama persis dengan asalnya, baik mulai dari awal kemunculannya maupun dalam perkembangannya, namun budaya tersebut kemudian dapat berkembang sesuai dengan situasi, kondisi, politik, maupun potensi di daerah yang didatangi namun tanpa melupakan esensi yang terkandung di dalamnya.
Ideologi Punk
Dalam Cakrawala Newsletter yang diterbitkan Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang (2005) punk itu bukan sekadar musik. Punk adalah gaya hidup yang bisa mengubah hidup dirinya sendiri bahkan juga lingkungan di sekitarnya. Bahkan punk lebih dari semua itu, punk adalah ideologi. Ideologi yaitu cara berpikir seseorang atau kelompok yang membentuk sekumpulan konsep bersistem, berupa pemahaman, maupun teori dengan tujuan tertentu.
Menurut Craig O’Hara dikutip dari buku Philosophy of Punk (1999) mengatakan, ”filosofi yang mendasari semua aktivitas dan usaha punk dalam menjalankan komunitasnya adalah DIY (Do It Yourself). Kita tidak perlu bergantung pada para pengusaha berduit untuk mengatur dan menyokong kesengangan kita, hanya untuk profit yang akhirnya juga akan jatuh ke dompet mereka. Kita dalam komunitas punk ini bisa bikin pertunjukan sendiri, mengorganisir demonstrasi, merilis rekaman-rekaman kita sendiri, menerbitkan buku dan zine, mengelola distribusi sendiri untuk hal-hal yang kita produksi (kaset, zine, mechandise), buka toko kaset sendiri, mendistribusikan literatur, mengkampanyekan boikot, dan berpartisipasi aktif dalam aktivisme sosial-politik. Kita yang mampu melakukan ini semua, bukan mereka (businessman, pemerintah, perusahaan) dan kita bisa melakukannya dengan efektif. Apa ada subkultur lain yang mempunya kekuatan aksi dan filosofi se-independen seperti ini?”
Dalam Cakrawala Newsletter (2005) lebih banyak dijelaskan mengenai DIY (do it yourself) dalam ideologi punk, bagi sebagian orang hal itu mengesankan punker berjiwa individualis. Padahal tidaklah demikian, yang dimaksud di sini adalah independen sebagaimana disebutkan Craig O’Hara, yaitu tidak tergantung pada siapa pun. Selama sesuatu hal masih bisa kita lakukan sendiri kenapa tidak kita lakukan? Yang menghapuskan individualis tadi adalah semangat equality yaitu semangat kebersamaan, dan persamaan hak. Sebagai contoh dalam sebuah band. Sebuah band punk yang menganut DIY akan berusaha untuk menangani album mereka sendiri. Mulai dari proses produksi, penggandaan sampai soal distribusi. Untuk menangani hal itu sangat berat jika dilakukan oleh satu dua orang saja. Di sinilah mereka sangat memerlukan kebersamaan. Semangat kebersamaan demi untuk mencapai tujuan bersama. .
Punk sebagai Subkultur
Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya, subkultur adalah suatu kelompok atau sub unit budaya yang berkembang ketika adanya kebutuhan sekelompok orang untuk memecahkan sebuah masalah berdasarkan pengalaman bersama. Demikian pula dengan punk, punk bukan hanya sekedar fashion atau pun musikal, namun punk adalah ideologi, punk juga merupakan salah satu bentuk dari subkultur. Apa yang dihasilkan punk, entah itu berupa komunikasi verbal maupun nonverbal sering kali merupakan suatu resolusi yang kontradiktif dalam struktur sosial bersama. Punk sebagai subkultur, merupakan gambaran kelompok minoritas yang berada dalam kehidupan budaya mayoritas.
Tremor, sebagai pendiri zine yang bernama Beyond the Barbed Wire, menjelaskan maksud pemilihan nama itu. Beyond the Barbed Wire yang berarti ”Di Luar Kawat Berduri”. Tremor berpendapat, dunia modern adalah sebuah kamp konsentrasi besar, yang dibatasi oleh pagar kawat berduri. Kawat berduri itu tajam. Kawat berduri telah dipasang untuk mencegah seseorang masuk, atau bahkan seseorang keluar. Dan dunia ada di balik pagar kawat berduri tersebut, yang penuh dengan represifitas (secara fisik, mental, dan filosofis). Akan tetapi banyak orang yang memilih untuk berusaha pergi melarikan diri dan hidup di luar kamp konsentrasi tersebut. Ada yang berusaha lari melarikan diri tetapi justru terjebak ke dalam dunia kamp konsentrasi lainnya, ada juga yang mebuat kamp konsentrasi baru untuk dirinya dan orang sekitarnya, tapi ada juga yang berusaha melarikan diri untuk kemudian bisa merencenakan penyerangan. Penyerangan terhadap dunia yang penuh dengan ketidak beresan. Punk adalah salah satunya.
Menurut Tremor, punk dengan DIY sebagai sebuah alternatif dan dunia tandingan dari sebuah dunia yang memagari kita, yang selalu melarang kita untuk mengetahui apa yang terjadi diluar kawat berduri dan mendikte kita tentang apa yang kita mau dalam hidup. Kita semua ingin membuat tenda-tenda di luar sana, akhirnya kita berkomunitas secara sporadik, tidak terpusat, mengorganisir diri sendiri, meludahi hirarki dalam usaha penghancuran kawat berduri tersebut. Kemudian kita semua kembali memiliki kendali dalam inisiatif atas hidup kita sendiri.
Punk sebagai salah satu subkultur, membuat suatu resolusi yang kontradiktif dalam struktur sosial, kemudian mebentuk suatu identitas kolektif dari sejumlah identitas individual yang pada akhirnya dapat mereka terima bersama.
Menurut Tiliweri (2003) Subkultur adalah istilah yang dipakai untuk mengidentifikasi suatu kelompok yang mempunyai perilaku spesifik atau ”lebih kurang”, atau mungkin ”di bawah”, bahkan ”di atas” dari perilaku kelompok kebanyakan. Konsep tersebut sesuai dengan punk, sehingga kita dapat menyebut punk sebagai salah satu subkultur.
Punk merupakan subkultur yang bisa dianut oleh sekolompok orang yang mepunyai persepsi yang timbal balik sama, bisa dikategorikan dalam peradaban, agama, wilayah, geografi, kesejahteraan, bahasa, kebangsaan, umur, gender, pekerjaandan keluarga.
Punk sebagai subkultur yang dikategorikan sebagai mikro kultur yang budayanya sangat berpengaruh pada perilaku komunikasi antarbudaya. Punk sebagaimana kelompok-kelompok subkultur yang lain memiliki perilaku budaya tertentu termasuk perilaku komunikasi baik verbal maupun nonverbal yang biasanya hanya diketahui anggota-anggotanya, misal bahasa, jargon, argot, dan lain sebagainya.
Komunikasi dalam Ideologi Subkultur Punk
Anggota punk biasanya menampilkan objek-objek unik yang mendapat dimensi simbolik, membentuk stigma, bukti dari pengasingan diri yang disengaja. Dimana mereka menampilkan perbedaan karena mereka memang ingin menampilkan perbedaan itu, suatu perilaku budaya yang termasuk perilaku komunikasi dalam subkultur punk.
Objek-objek sepele yang ditampilkan oleh mereka dapat diartikan sebagai gaya di dalam subkultur. Maksud di balik gaya subkultur ini adalah mengkonsumsikan perbedaan, dan mengkomunikasikan identitas kelompok. Menurut Hebdige (1999) sub kebudayaan adalah komunikasi intensional, apabila meminjam ilmu bahasa, ”termotivasi”, apa sesungguhnya yang dikomunikasikan dan diiklankan?
Dalam Hebdige (1999) Umberto Eco, salah seorang juru semiotika, menyebutkan bukan hanya objek komunikasi yang diniatkan secara sambil lalu melainkan setiap objek dapat dipandang sebagai tanda. Sebagai contoh, busana konvensional yang dipakai orang di jalanan dipilih dalam keterbatasan keuangan, selera, dan lain sebagainya. Demikian pula dengan pemuda-pemuda tersebut, pilihan-pilihan itu sudah tertentu bermakna. Meskipun objek-objek yang ditampilkan sederhana, seperti berpotongan mohawk, spike, rantai, jaket kulit, celana jeans ketat dengan baju lusuh. Namun semua hal itu kemudian menngkontruksi gaya, dengan gestur yang menyimpang. Menunjukkan sinyal penolakan, hadir sebagai oposisi. Sebagaimana semangat yang ada dalam punk itu sendiri, yaitu semangat untuk perubahan, ketidaktergantungan, proses kreatif dan peduli terhadap politik.
Hal itu sebenarnya dapat kita lihat dalam komunikasi verbal yang mereka sampaikan, yaitu melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi , sosial dan bahkan masalah agama. Punk berusaha menyindir para penguasa, masyarakat, bahkan sistem dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.
Wiliam Condon dalam Mulyana (2003) mengemukakan bahwa perilaku nonverbal itu sinkron dengan bahasa verbalnya. Demikian pula perilaku nonverbal yang ditunjukan oleh kelompok-kelompok punk tersebut sebagai pengasingan diri yang disengaja, sinkron dengan bahasa verbal dalam ideologi punk. Baik secara verbal maupun nonverbal, mereka menunjukan sinyal penolakan, dan sengaja hadir sebagai oposisi dalam sistem, dengan semangat untuk perubahan dan ketidak tergantungan, semangat kebersamaan. Berusaha merobohkan kawat-kawat berduri yang membatasi kehidupan sebagaimana dianalogikan oleh Tremor.
DAFTAR RUJUKAN
G., Widya. 2010. Punk: Ideologi yang Disalahpahami. Jogjakarta: Garasi House of Book
Hebdige, D. 1999. Subculture; The Meaning of Style Routledge, London and New York. New York: Methuen & Co. Ltd.
Liliweri, A. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mulyana, D. 2003. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mulyana, D. 2010. Komunikasi Lintas Budaya: Pemikiran, Perjalanan, dan Khayalan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Novia, Windy, 2004, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kashiko Press
Santoso, E. & Setiansah, M. 2010. Teori Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Universitas Negeri Malang. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (PPKI). Malang: Universitas Negeri Malang.
Wojowasito, S. & Wasito, T. 1980. Kamus Lengkap: Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris. Bandung: Hasta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar